Matahari belum sempat sibakan selimut malam. Hening masih hiasi salah satu putaran waktu yang dijadikan Allah sebagai pakaian itu. Pakaian setiap makhluk-Nya yang telah menapaki jalan kehidupan di siang hari.
Aku masih belum bisa mengenakan pakaian itu. Malamku masih siang. Aku masih asyik dengan setumpuk kertas laporan keuangan yang harus diserahkan besok. Bukan tak kasihan dengan mataku, bukan pula aku tega tak memberikan hak kepada mataku -hak untuk beristirahat-bukankah mata juga mempunyai hak. Aku tau itu dari Ustadz Firdaus pada suatu ceramahnya di masjid At Takwa. Beliau mengatakan bahwa baginda Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya mata kamu mempunyai hak.” Maha suci Allah, segala sesuatu diciptakan bukan saja dengan hikmahnya, tapi dibekali juga dengan hak masing-masing.
Dholim. Mungkin itu yang aku lakukan. Ya, seseorang yang tidak menyampaikan haknya kepada sang empu hak tersebut adalah dholim. Seperti kenyataan yang aku temukan sekarang, manusia lebih sering menuntut haknya daripada mengerjakan kewajiban. Hak dan kewajiban tidak berimbang.
Beberapa waktu yang lalu, di salah satu warung nasi aku menyimak berita di TV bahwa para guru melakukan demonstrasi di depan gedung kepresidenan menuntut kenaikan gaji. Mereka terpaksa meninggalkan anak-anaknya di sekolah. Dilematis sekali!
Kewajiban mengajar ditinggalkan, demi memperjuangkan hak. Hak memperoleh gaji yang sesuai. Ya, guru juga manusia. Mereka harus hidup, mereka harus menghidupi anak dan istrinya. Bagaimana bisa tenang mencerdaskan bangsa, kalau dalam mengajar juga masih memikirkan perut anak-anaknya.
“Kami menuntut kenaikan tunjangan, karena sudah tidak relevan lagi dengan harga-harga sekarang. Untuk mencari tambahan, kami mengojek,” kata koordinator demonstrasi dalam orasinya. Bulu kuduk berdiri mendengar kata terakhir dari orasi tersebut. “Kami mengojek....”
Subhanallah aku hanya bisa bertasbih. Ngeri rasanya membayangkan nasib guru tersebut. Bagaimana tidak, disaat muridnya pergi ke sekolah dengan Suzuki APV, Honda Yaris, Kuda dan mobil-mobil mewah -meski tak semua- gurunya datang dengan sepeda kumbang, motor bektu- motor bebek tahun 70-an- dimana guru tersebut?
Aku jadi terlibat dalam dialog dengan pak Usman, pemilik warung tersebut.
“Waduh, gimana nasib anak-anak atuh kalau gurunya pada demo,” celetuknya dengan logat khas Sunda.
“Maksud Bapak,” tanyaku
“Walaah...masa sampeyan gak ngerti. Coba sampeyan bayangkan, anak-anak ditinggalkan di sekolah untuk demo. Secara tidak langsung mengajarkan kepada anak-anak berdemo. Ntar sedikit-sedikit di sekolah anak-anak demo, ada ketidakpuasan dengan pihak sekolah, demo...kumaha nasib bangsa yang akan datang?”
Aku cuma mesem.
“Saya setuju dengan pendapat Bapak” kataku sambil mengangkat jempol.
“Wah...bagus itu. Emang semestinya sampeyan setuju,” hidung pak Umar seakan terbang.
“Tapi, pak. Kita tidak bisa menyalahkan guru yang melakukan demo begitu saja. Mereka itu juga kan manusia...”
“Wah sampeyan rupanya terpengaruh lagu rocker juga manusianya Serius, he...he...”
“Tapi benar, Pak. Mereka memiliki sifat-sifat kemanusiaan yang selalu tidak puas dengan apa yang sudah dimiliki. Semakin besar pemasukan, semakin besar pula pengeluaran. Hal itu bisa dipengaruhi oleh gaya hidup yang berubah. Karena merasa telah memiliki sandaran. Sandarannya ya...jabatan itu diantaranya,” tambahku.
“Semestinya hal ini harus dipikirkan pemerintah dengan seksama,” kata pak Umar sambil membereskan piring yang baru dicuci Bi Amin.
“Maksud Bapak?” tanyaku.
Aku paling suka mampir di warung ini, meski sederhana. Yang menjadi daya tarik warung ini adalah pemiliknya yang komunikatif. Pemikirannya tajam, meski cuma banyak mengandalkan logika, pendapat-pendapatnya subjektif. Tapi dia enak diajak diskusi. Meski, bagi sebagian orang pak Umar cerewet. Mungkin yang mereka maksud cerewet itu omongannya yang tak pernah berhenti.
“Ya, pemerintah berpikirlah untuk menaikan anggaran pendidikan, salah satu alokasinya untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Bukan untuk percobaan kurikulum saja,” tukasnya serius.
“Bapak ini pedagang nasi atau aktivis LSM,” godaku sambil mengambil pisang goreng dari piring.
“Eh...mas Ali jangan salah. Gini-gini juga Bapak mantan siswa teladan di SMP dulu. Meski tak sempat tamat,” katanya dengan mata berlinang.
***
Kalau kuingat obrolanku dengan Pak Umar aku jadi ingat nasib guru ngajiku di kampung. Aku yakin, bukan cuma guruku yang begitu. Tapi guru-guru ngaji yang lain nasibnya sama. Tak pernah diperhatikan. Ini yang lebih parah.
Menurutku mereka layak mendapat perhatian dan penghargaan. Mereka yang membekali anak-anak dengan ilmu-ilmu agama. Tanpa ilmu-ilmu agama, betapapun pintarnya orang pasti tak akan mampu memanfaatkan ilmunya. Pendidikan umum sekarang banyak mencetak generasi-generasi pintar namun tidak mengerti. Para koruptor contohnya. Mereka bukan orang bodoh, mereka pintar. Pintar memanfaatkan ilmunya untuk mencuri dengan cara yang apik. Sulit tersentuh hukum. Sulit ditemukan. Karena yang mencari yang menyembunyikan. Hah...kaya hidup di negeri Kabayan.
Berbeda dengan tetanggaku Sapnen, bisanya cuma mencuri ayam atau jemuran tetangga. Namun jangan salah, hadiahnya cukup besar. Dikeroyok orang, bahkan proses hukumnya juga lebih mudah; mudah diselesaikan, mudah dipenjarakan.
Kembali lagi ke nasib guru ngajiku. Menurutku dia harus mendapat perhatian juga. Sebab dia yang mengajarkan agama. Dunia tanpa agama buta. Ilmu agama akan menjadi self control setiap tindak tanduk seseorang. Tidak akan mudah terpengaruh oleh isme-isme. Makanya aku bilang mereka harus diperhatikan. Bagaimana kalau ilmu agama hilang, karena ustadz-ustadznya tak mau lagi mengajar, karena mereka khusyu mencari bagiannya di dunia.
“Carilah apa yang akan mendatangkan kehidupanmu di akhirat, tapi jangan lupa bagianmu di dunia,” kata Ustadz Sanusi pada suatu ceramahnya. Bagi muslim, ayat tersebut dijadikan dasar untuk mengais rizki di pelata bumi illahi. Seorang muslim tidak diperkenankan berpangku tangan, menanti rizki yang diturunkan Tuhan dari langit. Seorang muslim harus giat berusaha, mencari bagian dunia kita. Jangan sampai habis kikis dinikmati para kafir yang sedang menikmati surga dunia.
Meski seorang muslim dipernkenankan mencari dunia, tapi Islam mengingatkan umatnya agar tidak terlena dengan dunia. Para pemimpin yang korup, aktivis yang khianat merupakan contoh orang yang dilenakan dunia itu. Mereka lupa dengan tugas utama, yaitu menyejahterakan rakyat. Bukan ikhlas motivasi mereka mau jadi pemimpin.
Ah...bulshit dengan keikhlasan. Keikhlasan sekarang adalah kemunafikan, ketika keikhlasan bisa dibeli dengan segepok uang.
***
Aku kembali membereskan berkas-berkas laporan keuangan bulan ini. Besok siap dijilid. Adzan shubuh telah berkumandang. Aku segera bergegas mengambil air wudhu. Lalu pergi ke mushalla yang kebetulan tidak jauh dari kontrakanku.
“Sabar mata, ya! Habis shalat subuh, kau akan segera mendapatkan hakmu,” gumamku sambil menyambar sajadah yang menggantung di dinding kamar.
***
“Labbaikallâhumma labbaîk...labbaika lâsyarîkalakalabbaik....innalhamda wannikmata laka walmulk...lâ syarîkalak.....” aku terus mengucapkan kalimat talbiyah sambil memandangai bangunan berbentuk kubus itu.
“Subhanalllah,” gumamku. “Betapa agungnya engkau ya Allah yang telah menjadikan bangunan ini dengan segala kemegahannya. Sampai umat Islam se-dunia menghadap kepadanya ketika hendak menghadap-Mu melalui shalat.”
Air mataku berlinang. Tak kuasa kurasakan berjuta rasa yang menggelora didadaku. Di rumah Allah ini aku merasa kekhusyuan luar biasa ketika shalat, aku merasa begitu dekat dengan Tuhan yang selama ini aku sembah. Yang lebih membahagiakan, aku bisa melaksanakan rukun Islam yang ke-5 bersama ibuku tercinta. Sayang, Bapakku telah lama pergi mendahului kami. Sejak kepergiannya, ibuku yang menjadi kepala keluarga. Aku kagum dengannya. Ibu begitu gigih berjuang menghidupi anak-anaknya. Bahkan sampai bisa menyekolahkan ketiga anaknya sampai Perguruan Tinggi. Orang lain meskipun orang tuanya lengkap dan dikaruniai kecukupan harta, tapi tidak mencicipi pendidikan tinggi. Aku sangat bersyukur dikaruniai ibu yang begitu mengagumkan. Makanya ketika aku sudah mempunyai pekerjaan disalah satu perusahaan swasta, aku bertekad untuk mengajak ibuku menyempurnakan rukun Islam. Aku ingin mengajaknya ke tanah suci. Urusan jodoh, entar aja. Yang penting aku bisa menunaikan ibadah haji dengan Ibu.
“Labbaikallâhumma labbaîk...labbaika lâsyarîkalakalabbaik....innalhamda wannikmata laka wal...Ibu....,” Aku tidak sempat menyelesaikan kalimat talbiyahku ketika aku mendapatkan sesosok tubuh wanita yang lemas terkulai. Suasana menjadi ramai. Imran segera memanggil kepala regu kami. Tidak lama kemudian ia datang bersama tim medis dan membawa ibuku ke klinik. Beruntung, ibu hanya kelelahan.
Diantara alunan kalimat talbiyah samara-sama aku mendengar namaku dipanggil orang, “Fikri...fik...bangun sudah hampir jam sembilan!” Semakin lama suara itu semakin keras. Ternyata itu suara Hasan-tetanggaku. Dan aku terbangun dari tidurku. Kulihat jam tanganku sambil mengusap mata, subhanallah sudah jam 08.45. Aku harus segera ke kantor. Laporan keuangan ditunggu jam sembilan oleh pimpinan. Langsung kusambar handuk, lalu pergi ke kamar mandi.
Selama mandi aku tidak berhenti memikirkan mimpiku yang kulihat begitu nyata. “Sayang, hanya mimpi,” pikirku sambil membuka tutup pasta gigi.
Mimpiku mungkin dipengaruhi oleh ilusiku yang selama ini terus menghantui selaksa pikirku. Aku ingin menunaikan ibadah haji dengan ibuku. Keinginan ini aku pendam sejak aku masih kuliah. Ketika itu aku berpikir tak mungkin, karena jalan hidupku saja belum jelas. “Darimana dapat uang?” pikirku suatu ketika.
***
Aku segera mengambil berkas-berkas laporan yang akan diserahkan ke pimpinan. “Wah udah telat, nih,” gumamku.
Segera kutinggalkan kontrakanku. Rumah seluas 8 x 9 meter ini aku kontrak tiga bulan yang lalu setelah aku diangkat jadi staff administrasi yang mengurusi bagian keuangan. Pertama kali aku bekerja sebagai office boy (OB). Karena aku dinilai punya dedikasi yang tinggi pada perusahaan, dan kebetulan aku bisa mengoperasikan computer, akhirnya aku menempati pekerjaan sekarang. Tentu aku sangat bersyukur kepada Allah, sebab pada hakikatnya Allah tidak ingin aku bekerja sebagai OB.
Ke kantor, aku biasa naik angkot karena belum punya alat transportasi sendiri. Ketika angkot yang aku tumpangi berhenti di lampu merah, tiba-tiba tiga anak menghampiri angkot yang aku tumpangi. Mereka langsung menyanyikan lagu entah lagu apa karena tidak jelas liriknya. Hatiku teriris menyaksikan pemandangan ini. Bayangkan saja, anak-anak yang mestinya pagi itu berangkat ke sekolah malah ramai berburu rupiah di jalan raya yang sangat berbahaya bagi keselamatan hidupnya.
Aku terperanjat ketika tiba-tiba di depan mataku ada tangan kurus kering diulurkan dengan plastik yang berisi beberapa keping uang recehan. Aku langsung mendapatkan uang 5 ribu rupiah dari saku bajuku. “Makasih oom,” kata anak tersebut sambil manggut.
“Dul, cepat kesini,” seseorang memanggil anak itu.
Anak itu tampak ketakutan. Kulihat dia termenung sebentar. Tiba-tiba anak itu lari terbirit-birit.
“Hei, mau kemana kau anak sialan,” suara yang tadi memanggil anak itu. Seorang lelaki bertubuh tinggi mengejar anak laki-laki yang baru berusia sekitar 6 tahun itu.
Lampu hijau menyala. Saat itu pula sopir angkot tancap gas. Sayang, aku tidak bisa menyaksikan nasuib anak itu.
“Nampaknya ia korban eksploitasi anak yang selama ini marak diberitakan media,” pikirku menjawab kepenasaranku. Ia bekerja untuk orang lain. Bagiannya, paling cuma dikasih makan. Hatiku tersayat perih…membayangkan nasib anak tadi.
Ya Allah, beruntung benar nasibku. Sampai aku duduk di bangku kuliah, aku tidak pernah memikirkan keuangan karena semua tinggal memberitahu ibu jika aku butuh uang. Semua telah ibu persiapkan. Tapi anak ini, untuk makan aja harus berjuang pertaruhkan nyawa dan masa depannya. Inikah masa depan yang sedang mereka ukir?
Bagaimana nasib negara kita kedepan, aku kuatir. Sebab, generasi penerusnya saja kaya gini. Tak berpendidikan, sejak kecil hidup dalam kerasnya hidup. Akankah mereka tumbuh menjadi sosok yang keras juga?
“Mereka harus diselamatkan,” pikirku.
Mereka korban eksploitasi anak. Mau tidak mau harus segera dicari jalan untuk mengeluarkan mereka dari jerat nestapa. Menyelamatkan mereka berarti menyelamatkan bangsa.
“Kasihan banget nasib mereka, ya,” kata seorang lelaki yang duduk di sampingku sambil membenarkan posisi duduknya.
Aku senang ada yang mengajak bicara. Dari tadi aku bicara sendiri dalam hati.
“Iya, seharusnya mereka sekolah,” jawabku.
“Seharusnya masalah ini dipikirkan pemerintah jalan keluarnya, sebab masalah ini menyangkut martabat bangsa,” balas lelaki itu yang memperkenalkan dirinya sebagai Pak Ajid.
“Kalau saya dikaruniai rizki saya ingin menampung, menyekolahkan dan mendidik mereka sampai mereka mempunyai kesanggupan untuk hidup mandiri,” jawabku.
“Ah...itu mah omongan yang belum punya aja. Dari dulu saya sering dengar orang berkata persis dengan yang kamu katakan, tapi setelah mereka mendapatkan apa yang diandaikannya itu mereka lupa, dech,” katanya lagi seolah mencibir niat tulusku.
Aku tidak bisa menyalahkan Pak Ajid yang menganggap ringan tekadku itu. Mungkin Pak Ajid benar dan dia berbicara berdasarkan kenyataan yang ia temukan. Aku sendiri sering menemukan orang yang berjanji, “Kalau anu, maka saya akan anu...anu dan anu...,” meski kenyataannya setelah anu itu mereka lupa anu-anu yang telah diucapkannya.
Tiba-tiba aku jadi ingat tujuanku. “Jl. Cut Nyak Dien, bang,” aku minta sopir angkot agar berhenti di tempat aku kerja.
“Wah...udah kelewat, Pak?” jawab sopir itu.
“Apa?” teriakku kaget.
“Iya, jalan Cut Nyak Dien telah kelewat sekitar dua kiloan,” jawabnya santai seolah tak memikirkanku yang serba salah.
“Ya udah turun disini aja,” pintaku.
“Subhanallah, kok aku bisa lupa begini, mana laporan sedang ditunggu lagi. “Makanya kalau lagi mengerjakan sesuatu, pikiranmu harus fokus, jangan kemana-mana, Fikriyya,” aku bicara sendiri dalam hati. Laporanku???
“Astagfirullah al adhim.”
[ Read More ]